Author: Ihsan Iskandar
Sudut Pandang Pertama
Sudah 1 minggu lebih, tepatnya 10 hari sudah berlalu. Aku
yang sudah diselematkan oleh pak tua Korna harus berisitirahat untuk
menyembuhkan luka-luka ku. Sebenarnya mau saja aku lari dari tempat ini, namun
pak tua Korna itu selalu siaga dengan pistolnya, bahkan ketika membaca buku
atau makan.
Selama waktu itu, aku hanya duduk dan berjalan sedikit di
sekitar kamar pada seminggu pertama. Luka ku lebih parah dari yang kubayangkan,
ketika jatuh, sepertinya kepalaku terbentur sesuatu dan kaki kananku tertembak.
Tapi beruntungnnya, aku masih selamat dan Pak Tua Korna menyelamatkan ku.
Setelah 1 minggu, aku sudah dapat berlari, walau tidak
secepat dulu. Namun ada hal yang sangat mengganggu ketika menginap dirumah Pak
Tua Korna. Sebeumnya dia bilang dia adalah lelaki biasa, namun dia selalu
membaca buku, menulis buku ketika malam, dan berlatih seperti berlari dan
mengangkat beban ketika pagi hari.
“Lelaki biasa yang aneh”
Mungkin itu kalimat yang tepat untuknya, tapi pernah suatu
ketika. Ketika aku berjalan-jalan dirumahnya yang lumayan besar itu. Terdapat
ruang perpustakaan miliknya. Aku tak pernah melihat buku sebanyak itu
sebelumnya selama hidupku.
Sebagai Bocah berumur 12, aku pasti memiiki rasa penasaran
dan ingin melihat kamar pribadinya yang selalu dia kunci, jadi di pagi itu, aku
menyelinap mengambil kunci di jasnya setelah dia pulang memancing dan membuka
kamarnya, yang kulihat di kamarnya banyak foto-foto militer dan bendera Roxalia
terpampang jelas. Namun, sebelum aku masuk lebih jauh, Pak Tua Korna menghentikan
ku dan melemparku keluar ruangan. Pak Tua Korna bertelanjang dada
menghampiriku. Walau kelihatannya sudah
berumur 50 tahun, dia memiliki tenaga yang besar. Badannya tidak kelihatan tua
seperti umurnya, kekar, bahkan banyak bekas luka sayatan dan lubang peluru. Dan
paling terutama, kacamata hitam yang selalu dia pakai sedang tidak dipakai,
terlihat jelas mata kirinya tertutup karena bekas luka tertusuk benda tajam.
Setelah kejadian itu, Pak Tua Korna lebih memperhatikanku,
dan ketika kutanya apa yang terjadi di masa lalunya, dia tidak menjawab.
Setelah hari ke 12 aku dan pak tua Korna berlatih pagi
bersama dan ikut memancing, aku tak ingin terkurung dirumah seperti hewan
dikandang. Ternyata desa Roxanda ini tidak memiliki warga sebanyak desa Magna, dan
emiliki banyak ladang rumput. Tidak disangkan, latihan pagi Pak Tua tua itu
sangat tidak wajar, aku hanya bisa mengikutinya berlari seperempat jalan.
Setelah berlatih dan memancing, aku dan Pak Tua Korna
berbincang dan bercanda. Sepertinya hubunganku dengan dia semakin membaik, dan
aku mula percaya padanya untuk menceritakan nama dan tempat tinggalku.
Pagi itu, hari ke 13, aku bercerita semua hal tentang diriku
dan apa yang terjadi. Pak Tua Korna Sontak berdiri.
“ada desa di Hutan itu!? Dan desa itu diserang oleh
tentara!? Apakh kau mengetahui ciri-ciri mereka bagaimana Jusup!?”
Pak tua Korna mengenggam lenganku dengan kuat, dan aku
memberikan lencana Mecov yang ada dikantungku kepadanya.
“Lencana ini… SIAL!”
Pak Tua Korna langsung berteriak dan lari ke kamarnya.
Setelah beberapa saat, dia kembali kepadaku yang masih terduduk bingung.
“Jusup, masala ini lebih besar dari yang kubayangkan, aku
akan pergi ke kota Roxus. Aku harus memberitahu mereka mengenai hal ini.
Sepertinya yang menyerangmu adalah tentara Madonia, dan mereka akan menyerang
Benteng Roxa segera.”
Ucap pak Tua Korna dengan tergesa-gesa, aku masih diam
mendengarkan perkataannya, tapi satu kesimpulan pasti yang kudapat, bahwa
keadaan Republik Roxalia sedang terancam. Pak Tua Korna mempersiapkan barang-barangnya
dan bersiap untuk pergi.
“Bocah, aku kan pergi selama satu minggu, jaga rumah ini
baik-bak dan jangan melakukan hal bodoh”
Sebelum dia pergi, aku memeluk kakinya sekuat tenaga.
“Ajak aku Pak Tua!”
“Bodoh! Apa yang bisa dilakukan bocah 12 tahun disana!?
Lepaskan kaki ku”
Pak tua Korna terus menendang perutku, namun aku bersikeras
untuk ikut,aku arus mencari keluarga ku yang selamat.
“Sial! Baiklah kau akan ikut denganku dan mengikuti
kata-kata ku, dan jangan salahkan kalau kau mati”
Pak tua Korna mengepalkan tangannya dab berkata menyetujui
aku untuk ikut. Kami berangkat menggunakan kereta kuda menuju ke kota Roxus.
Setelah 2 hari perjalanan, kami sampai ke gerbang kota
Roxus. Gerbang besar yang dijaga ketat oleh tentara biru Roxalia menghampiri
kami, Pak Tua Korna turun dan menunjukkan sesuatu kepada tentara tersebut.
setelah itu mereka mempersilahkan kami untuk masuk.
Sesampainya didalam, wujud kota yang belum pernah
kubayangkan, rumah bertingkat ketiga bahkan lebih ada dimana-mana, dan tentara
sedang berlari kesana dan kesini. Setelah jalan selama 10 menit, kami sampai ke
markas tentara Roxalia.
“Bocah, tunggulah disini, aku akan kembali dalam beberapa
menit”
Setelah mengatakan itu, Pak Tua Korna masuk ke markas
tentara yang lumayan luas itu, di sisi samping kanan dan kiri markas tersebut
berbaris tank-tank dan senjata api lainnya.
Setelah beberapa menit, Pak Tua Korna keluar dari pintu
markas tersebut dengan wajah marah sambil memukul diding markas tersebut, aku
penasaran apa yang terjadi. setelah beberapa saat, Pak tua Korna mendatangiku.
“Bocah, kita terlambat. Tentara Madonia sudah menyerang
benteng Roxa, sekarang kita akan menginap di hotel terdekat, jangan jauh-jauh
dari ku”
Setelah sampai di hotel, pak tua Korna kembali keluar gedung
dan aku dipaksa berdiam di kamar hotel ini apapun yang terjadi. ketika menunggu
sambil melihat keluar jendela, tidak terasa sudah malam dan pak tua Korna tidak
kunjung datang. Dan tanpa sadar aku tertidur di tepi jendela.
Paginya aku terbangun, aku bangun dan melihat pak tua Korna
sudah duduk tertidur di sofa sambil memegang sebuah Koran. Aku mengambil Koran
tersebut dan membacanya. Di bagian sampul terdepan Koran itu tertulis bahwa
benteng Roxa sudah jatuh ketangan kerajaan Madonia dari dua arah melalui desa
Magna dan menerima kekalahan telak. Aku yang membaca itu terus merinding dan
melingkuk di lantai sambl tidak percaya apa yang terjadi. beberapa hari setelah
hari itu, aku dan pak tua Korna masih tinggal disana. Setelah beberapa hari,
Negara Republik Roxalia mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Madonia dan
berhasil. Tapi, tidak ada satupun warga, tentara, maupun Pak Tua Korna yang
merayakannya, jika kau melihat isi perjanjiannya, ternyata mudah saja,
perjanjiannya ini hanya akan membuat Negara Republik Roxalia ditekan oleh
Negara Madonia secara Internal dan eksternal. Namun opiniku tersebut tidak
kuutarakan kepada Pak Tua Korna.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keluar hotel dan
berjalan-jalan sebentar, ketka ditaman, terdapat demonstran yang berkumpul di
depan markas tentara kemarin. Aku mndekat dan mendengarkan mereka. Lelaki yang
kupikir adalah pimpinannya berdiri diatas mobil tentara dan menyeuarakan dengan
sangat keras ketidaksukaannya.
“KAMI WARGA ROXALIA MENUNTUT KEADILAN KEPADA TENTARA YANG
KAMI UPAH! JANGAN JADIKAN KAMI BUDAK NEGARA LAIN! JIKA TENTARA ROXALIA TAKUT,
KAMI AKAN MAJU MELAWAN MADONIA”
Itu lah yang kudengar dari mereka, setelah beberapa saat,
pimpinan tentara keluar dan menjawab pertanyan mereka.
“KAMI TIDAK DAPAT BERBUAT APA-APA. INI SEMUA ADALAH SALAH
WARGA DESA MAGNA! MEREKA BERKHIANAT KARENA TIDAK MENGABARKAN KAMI APAPUN!”
Aku yang sontan mendengar hal tersebut berlari ke atas kap mobil tentara di seberang jalan dan
mulai berteriak
“ITU SEMUA SALAH! ITU SEMUA SANGAT SALAH”
Para Demonstran dan para tentara melihat kearahku dan mulai
mendengarku walaupun aku mendengar mereka bertanya “Siapa bocah itu?” aku pun
menjawab dengan lantang.
“AKU ADALAH BOCAH YANG BERASAL DARI DESA MAGNA! SEMUA HAL
YANG KALIAN KATAKAN ITU SALAH, KAMI DESA MAGNA TDAK SEPERTI ITU-”
“APA WARGA DESA MAGNA!?”
Cetus memotong dengan lantang pemimpin tentara tersebut
“TENTARA TANGKAP DIA!”
Sambil menunjuk kearahku, aku ditangkap oleh para tetara dan
para demontran mulia melempar batu ke arahku.
“Kenapa aku mereke seperti itu? Apa salahku? Kenapa aku
selalu seperti ini? SIAL SIAL SIAL SIAL”
Aku berteriak dalam hati dan sekuat tenaga mulai memberontak
melarikan diri, namun tengkuk belakang ku dipukul dengan keras dan aku tidak
sadarkan diri. Aku bermimpi aku berada di desa Magna bersama dengan semua
keluaraga dan warga desa yang kukenal sejak kecil. Aku bertemu kak Sherli yang
sedang memabawa beberapa ubi untuk dimasak, dia melihatku sambil tersenyum, dan
warga desa begitu juga… hangatnya… walaupun ini mimpi, tolong jangan bangunkan
au lagi.
Ketika sadar, aku sudah berada di dalam ruangan yang dingin
dan kotor serta ditutup rapat dengan pindu besi. Ya benar, ini adalah penjara,
aku hanya bisa duduk disudut ruangan dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tau
berapa waktu berlalu, satu jam, jam,
atau mungkiin 1 hari, aku tidak terlalu peduli, aku hanya meliuk di lantai
dingin tersebut. namun, beberapa saat aku mendengar seperti suara Pak Tua Korna
dari balik pintu bersi tersebut
“Bocah, hei kau mendengarkan ku bocah?”
“Pak Tua? PAK TUA! TOLONG AKU, TOLONG AKU, TOLONG AKU PAK
TUA!”
Sambil memukul-mukul pintu besi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar