Author : Ihsan iskandar
First Point of View
“Tenanglah bocah, aku tidak memilki waktu banyak. Aku akan
menyampaikan beberapa hal kepada mu”
Aku berusaha menenangkan diri dan menghapus bekas derai air
mata di wajahku. Aku mendekatkan telingaku ke sela-sela pintu besi yang
memisahkan ku dengan pak tua korna
“Bagus. Bocah, esok hari akan diadakan sidang untuk
menjatuhkan hukuman kepadamu, yang perlu kau lakukan besok adalah diam dan
menyerahkan semuanya kepadaku, jika kau mengerti, pukul pintu ini 2 kali.”
Duk Duk.
“Bagus, aku akan pergi sekarang”
“Tunggu Pak Tua!”
“apa bocah? Aku tidak memiliki banyak waktu”
“Te…Terima kasih”
Ucap lirihku ke pak tua Korna, dia tidak menjawab dan aku
mendengar suara langkah kaki yang semakin menjauh.
Di malam itu, tidak sekalipun aku bisa menutup mata. Tetapi
terima kasih kaena pak tua Korna, aku bisa sedikit menenangkan diri.
Keesokan harinya, aku mendengar suara pintu besi yang
mengurungku selama 2 hari itu terbuka, aku langsung berdiri di depan pintu. Aku
melihat petugas yang membuka kan pintu tersebut membawa rantai tangan. Aku
mempersilahkan dengan mengangkat tanganku sambil melihat tajam ke mata petugas
tersebut.
“HEI BOCAH MAGNA! JANGAN BERANI MENATAPKU SEPERTI ITU!”
Aku dipukul tepat diwajah dan melayangkan tubuhku jatuh ke
sisi kiri dan menghantam tembok. Walaupun rasa sakit yang kualami, aku hanya
kembali melotot mata petugas tersebut dan dipukul beberapa kali sebelum
dihantarkan ke ruang sidang.
Ketika memasuki ruang sidang tersebut dengan keadaan wajah
bengkak membiru, para penonton sidang melihatku dengan tatapan jijik dan
membunuh, tatapan dingin tersebut aku hiraukan dan melihat pak tua korna duduk
di kanan depan penonton, itu adalah tempat duduk untuk tersangka.
Aku duduk di sebelah pak tua Korna, Pak tua Korna hanya
melihat wajahku dengan ekspresi terkejut dan wajahnya memerah, tetapi setelah
beberapa saat kemudian dia kembali melihat kedepan tanpa meninggalkan sepatah
kata.
Sidang pun dimulai, di ruang persegi yang cukup lebar
tersebut, para hakim duduk di seluruh hadapan peserta yang hadir, Hakim
berserta 20 jaksa duduk di paling kanan depan, penuntut yang duduk disamping
kiri kami mulai membaca dakwaannya.
Dari 10 menit dia menjelaskan tututannya, aku dapat
menyimpulkan bahwa aku bersalah atas kekalahan Republik Roxalia karena tidak
memberikan informasi kepada mereka secepatnya.
“Jadi, Hakim harus memberikan sanksi seberat-beratnya kepada
bocah itu, dan sanksi tersebut adalah hukuman MATI!”
“HUKUMAN MATI! GANTUNG DIA!”
Penuntut yang memiliki hidung panjang dan bermuka jahat itu
mengakhiri perkataannya sambil menunjuk kearahku, dan para penonton persidangan
mulai meneriaki “Bunuh!” kepadaku juga. Karena tekanan dan sanksi hukum yang
menghantui ku “Aku akan mati” hanya itu yang kupikirkan, tanpa sadar air mata mulai
berjatuhan di sudut mataku, bayangkan bocah berumur 12 tahun seperti ku harus
menerima ini. Aku tertunduk dan mulai nangis terisak.
Tapi seketika Pak Tua Korna menyentuh pundakku tanpa
berbicara sedikitpun. Aku tahu itu pasti tanda bahwa aku harus kuat, jadi
sebisa mungkin, derai air mata ini kutahan dan mulai menengadahkan kepalaku
lagi
BAM BAM BAM!
“DIAM!”
Ketuk palu keras dari hakim bernama Labert Stein memecahkan
sorak-sorak kebencian kearahku. Dan
Hakim mulai melihat kearahku dan pak Tua Korna.
“Silahkan pembela, katakan apa pembelaanmu”
Pak tua Korna yang memakai pakaian biasa dan kacamata
hitamnya mulai berdiri dan berbicara
“Hakim, saya memiliki pembelaan sederhana, saya dapat
mengatakan bahwa kekalahan Republik Roxalia bukanlah karena desa Magna,
melainkan Roxalia itu sendiri”
Hakim dan bahkan para penonton menarik napas panjang seperti
tidak percaya apa yang dikatakan pak tua Korna, terutama Penuntut si hidung
panjang ingin berteriak berkata “Kau telah melecehkan Roxalia”, namun pak tua
Korna melanjutkan pembelannya tanpa terganggu sedikitpun.
“Hakim dan Jaksa, jika kita melihat dalam perundang-undangan
dalam bab batas teritorial yurisdiksi Negara yang sah, dijelaskan bahwa
“Wilayah-wilayah Negara Republik Roxalia harus membayar pajak setiap tahunnya”
namun, dalam data perpajakan, sudah lebih sari 15 tahun desa Magna tidak
mendapat pemungutan pajak”
“Itu karena Desa Magna sangat jauh dari kota dan terpencil!”
Penuntut hidung panjang menyela sembari memukul mejanya
“Jika Yang kau katakan itu benar, maka Republik Roxalia
bersalah atas desa Magna karena tidak bisa menjaga batas yurisdiksinya dengan
benar. Hal terpeting juga, Pajak selain berfungsi meningkatkan infrastruktur
dan pembangunan, itu juga alasan Desa Magna wajib dilindungi oleh Republik Roxalia
secara berkala. Namun yang terjadi tidak seperti itu, jadi orang-orang Desa
Magna tidak perlu melaporkan apapun kepada Pemerintahan”
“Tapi apakah kau lupa, anak kecil desa Magna disampingmu itu
adalah warga Negara Republik Roxalia juga, dan dia wajib melaporkan segala
sesuatu hal kepada pemerintah jika menyangkut kemanan negara” Penuntuk
berhidung panjang itu menunjuk kearahku dengan tatapan bengis.
“Bocah disamping ku ini berumur 12 tahun, dan menurut
perundangan-undangan anak dan hak asasi kebebasan, bahwa anak yang belum
mencapai umur dewasa yaitu 17 tahun tidak wajib dan tidak ada paksaaan untuk
menaati peraturan administrasi pemerintahan, dan seharusnya yang melaporkan hal
tersebut adalah orang tuanya. Dan orangtuanya terbunuh dalam peperangan. Itu
juga adalah asas didirikannya Negara Republik Roxalia dengan beridealisme
demokrasi” Pak Tua Korna menjelaskan sembari memegang pundak kananku. Namun
ekspresinya berubah merah
“Bahkan, aku akan menggugat peradilan dan keamanan penjara
ini karena telah melukai bocah berumur 12 tahun secara sepihak” Pak tua Korna
melihat dengan tajam kearah hakim dan Jaksa.
Penuntut berhidung panjang mulai lemas dan terduduk karena
kalah berbicara dan bukti.
“hmm… baiklah, tapi siapa kau?” Hakim Labert mulai bertanya
kearah pak tua Korna. Dan Pak tua korna mulai melepas kacamatanya dan
memperkenalkandiri.
“Perkenalkan Hakim, namaku adalah Korna Gizzle, mungkin saya
lebih dikenal dengan panggilan ‘Bung Karno’ saya adalah mantan Presiden Pertama
Negara Republik Roxalia”
“a..apa…??”
Hakim dan jaksa. Tidak, bahkan seluruh orang di persidangan
itu termasuk aku terkejut mendengar kalimat itu, selama beberapa saat
persidangan tersebut tidak bersuara sedikitpun selain suara palu yang jatuh ke lantai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar